I. PENDAHULUAN
Infaq
adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (Syarful maal ilal haajah)[1]. Dengan demikian
Infaq mempunyai cakupan lebih luas dibanding zakat.
Dengan
kata lain infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif,
yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan bukan secara
produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut
secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Maka hibah, hadiah,
wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga,
kaffarah (berupa harta) karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh
dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan, adalah termasuk
infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak.
Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak
pemberi maupun pihak penerima.
- Pengertian Infaq dan Perbedaannya Dengan Zakat dan Shadaqah
- · Makna Infaq
Pengertian infaq adalah lebih luas dan lebih
umum dibanding dengan zakat. Tidak ditentukan jenisnya, jumlahnya dan waktunya
suatu kekayaan atau harta harus didermakan. Allah memberi kebebasan kepada
pemiliknya untuk menetukan jenis harta, berapa jumlah yang sebaiknya
diserahkan.
- · Makna Zakat
Secara Bahasa (lughat), berarti :
tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti
membersihkan atau mensucikan.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.". (QS : At-Taubah : 103).[2]
Sedangkan istilah zakat berarti derma yang
telah ditetapkan jenis, jumlah, dan waktu suatu kekayaan atau harta yang wajib
diserahkan; dan pendayagunaannya pun ditentukan pula, yaitu dari umat Islam
untuk umat Islam.
- · Makna Shadaqah
Adapun Shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas
lagi dibanding infaq. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak
terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga
dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan,
menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis kepada
saudaranya, menyalurkan syahwatnya pada istri dsb. Dan shadaqoh adalah ungkapan
kejujuran (shiddiq) iman seseorang.
Sedangkan dalam Fiqh Prioritas dijelaskan
bahwa Zakat sifatnya wajib bagi setiap muslim yang hartanya telah memenuhi
syarat tertentu, sedangkan infaq atau shadaqah adalah sunnah. Dengan demikian
ibadah wajib harus lebih dahulu setelah sunnah.
Dalam pembahasan ini
Pemakalah mencoba menuliskan dan menjelaskan beberapa dalil Qath’I dalam
al-Qur’an sebagai alat bantu untuk memahami dan memepelajari tentang hal-hal
yang berkaitan dengan infaq, zakat dan shodaqoh.
II. PEMBAHASAN
Surat Al-Baqarah ayat 43 dan ayat 267.
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ {43}
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِن
طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ وَلاَ
تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِئَاخِذِيهِ إِلآَّ أَن
تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ {267}
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.[4]
Tafsiran : kedua ayat
diatas sama-sama berbicara tentang zakat, walaupun pada ayat 267 menggunakan
lafadz “Anfiqu” (infaq), karena ke dua ayat tersebut mempunyai
hubungan yang erat, pada ayat 43 Allah menjelaskan perintah mengeluarkan zakat
secara umum, sedangkan pada ayat 267 Allah menjelaskan apa-apa yang harus
dizakati. Di dalam
ayat 43 Allah mengumpulkan perkara shalat dan zakat, hal ini dikarenakan shalat
mengandung keikhlasan kepada zat yang diibadahi, yaitu shalat yang ditunaikan
secara bersama-sama (jama’ah). Sedangkan zakat mengandung kebaikan
kepada hamba-hamba-Nya, yang diistilahkan dengan habl min Allah dan habl
min al-nas.[5] Jika seseorang menunaikan atau menegakkan
shalat berarti telah menjalankan hubungan baik dengan Allah ta'ala, dan tatkala
menginfaqkan sebagian hartanya berarti telah berbuat baik sesama hamba-hamba
Allah SWT .
Maka sebagai tanda kebinasaan seorang
hamba yaitu tidak adanya dua perkara ini pada dirinya, yakni keikhlasan dan
memberikan kebaikan kepada saudaranya.
2. Seputar Zakat
Zakat adalah harta yang
wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan
oleh agama, dan disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan pula, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an
surat At-Taubah ayat 60.
Zakat dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna
: Pertama, zakat bermakna Al-Thaharu,
yang artinya membersihkan atau mensucikan. Sebagaimana Allah SWT berfirman yang
terdapat dalam surat At-Taubah ayat 103. Kedua, zakat bermakna Al-Barakatu,
yang artinya berkah. Ketiga, zakat bermakna Al-Numuw, yang artinya
tumbuh dan berkembang. Keempat, zakat bermakna Al-Shalahu, yang artinya
beres atau keberesan.[6]
3. Kedudukan
Zakat Dalam Islam
Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam,
sehingga keberadaannya dianggap sebagai “ma’lum min al-diin bi al-dlarurah”,
yaitu diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari
keislaman seseorang. Sehingga tidak aneh kalau Allah SWT mensejajarkan kata
shalat dan kewajiban berzakat dalam berbagai bentuk kata tidak kurang dari 27
ayat.
Al-Quran menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator
utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam, ciri utama mu’min yang akan
mendapatkan kebahagiaan hidup dan ciri utama mu’min yang akan mendapatkan
rahmat Allah SWT. Kesediaannya berzakat dipandang pula sebagai orang yang
selalu berkeinginan untuk membersihkan diri dan jiwa dari berbagai sifat buruk,
sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan dan mengembangkan
harta yang dimilikinya.
Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman keras
terhadap orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta
benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah
menjadi azab bagi pemiliknya. Firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 35 : “Pada
hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada
mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.[7]
4. Sumber-sumber Zakat
Sumber zakat merupakan harta yang menjadi objek zakat. Sumber zakat
dibagi menjadi dua bagian : pertama sumber zakat terdahulu, yaitu sumber zakat
yang pernah ada pada zaman Rasulullah, seperti zakat emas dan perak, zakat
perdagangan, zakat pertanian, zakat rikaz, dan lain sebagainya sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam berbagai hadits. Adapun sumber zakat
kontemporer adalah sumber zakat yang tidak ada pada zaman Rasulullah, tapi para
ulama memasukannya kedalam sumber zakat yang harus dikeluarkan zakatnya dengan
jalan analogi atau qiyas kepada sumber zakat yang pernah ada pada zaman Rasulullah.[8]
Dalam hal ini para ulama khususnya para ulama kontemporer memasukan
sumber zakat kontemporer kedalam salah satu sumber zakat bukannya tanpa alasan
dan bukannya tanpa didukung dengan dalil. Mereka telah berijtihad dalam hal ini
dan merekapun mengemukakan dalil-dalil baik itu dalil aqli (dalil berdasarkan
logika) ataupun dalil naqli (dalil berdasarkan nash).
5. Syarat Wajib Zakat
1. Baik dan halal
2. Berkembang dan
berpotensi untuk berkembang
3. Mencapai Nishab
4. Mencapai Haul
5. Lebih dari
kebutuhan pokok
6. Bebas dari
hutang
7. Milik penuh
6. Macam-Macam Zakat[9]
1. Zakat Fitrah/Fidyah
2. Harta (maal) yang wajib dizakati
a.
Binatang Ternak
b. Emas
Dan Perak
c. Barang
Perniagaan/Perdagangan
d. Hasil
Pertanian
e.
Kekayaan Laut
f. Rikaz/
Barang temuan
3. Zakat Profesi/Pendapatan
4. Zakat Uang Simpanan
5. Zakat Emas/Perak
6. Zakat Investasi
7. Zakat Hadiah dan Sejenisnya
8. Zakat Perniagaan-Zakat
Perdagangan
9. Zakat Perusahaan
7. Mustahiq Zakat[10]
Maksudnya adalah orang-orang yang berhak menerima
zakat.
8. Pihak Yang Terlarang
Menerima Zakat
1. Orang-orang kafir dan
golongan atheis
2. Bani Hasyim atau keluarga
Nabi
3. Orang tuanya &
anak-anaknya. Alasannya ialah karena telah menjadi kewajiban bagi pembayar
zakat untuk memberi nafkah kepada mereka (keluarganya). Kewajiban berzakat
tidak menggugurkan kewajiban memberikan nafkah.
Kandungan yang terdapat pada
surat at-Baqarah ayat 43 dan 267 di atas adalah : perintah shalat dan zakat,
perintah shalat berjama’ah, barang-barang yang dizakati, dan Allah mempunyai sifat
Maha Kaya Raya.
Surat Al-Baqarah
Ayat 274
الَّذِينَ يُنفِقُونَ
أَمْوَالَهُم بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ
عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ {274}
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari
secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.[11]
Tafsiran : dalam ayat ini
Allah SWT. memberikan gambaran (kecil) hasil dan keistimewaan yang diberikannya
kepada orang-orang yang menafkahkan
hartanya, akan tetapi ke dua kata “Sirran dan ‘Alaniyah” yang
terdapat pada ayat tersebut banyak perbedaan pendapat, dikarenakan dalam hadis
Nabi terdapat sebuah hadis yang berbunyi:
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله
عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إنما الأعمال بالنيات ,
" متفق عليه
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh,
Umar bin Al-Khathab RA, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
“Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai
niatnya..”[12]
Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal
hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang
dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat
maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah,
“semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang
maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal
tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna
sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
Ayat diatas menjelaskan secara jelas
mengenai Infaq dan shodaqah (Bukan Zakat), dikarenakan pada ayat tersebut Allah
tidak menjelaskan waktu dan tempat dikeluarkannya harta benda. Sedangkan pada
pembahasan zakat terdapat waktu-waktu ketika zakat wajib di tunaikan.[13]
Kandungan yang terdapat pada
surat at-Baqarah ayat 274 di atas adalah : balasan bagi orang-orang yang
menafkahkan hartanya dijalan Allah SWT.
Surat At-Taubah ayat
60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
{60}
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[14]
Ayat ini turun karena Pada masa Rasulullah, orang-orang yang serakah dengan harta dunia, mereka tidak dapat menahan hawa nafsu ketika mereka melihat dana sedekah dan zakat. Mereka mengharapkan percikan harta tersebut dari Rasulullah. Tetapi ternyata mereka tidak diperhatikan oleh Rasulullah. Mereka mulai menggunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai seorang Nabi. Kemudian turunlah ayat Al-Qur’an yang menyingkap sifat-sifat mereka yang munafik dan serakah itu dengan menunjukan kepalsuan mereka yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Dan sekaligus ayat itu menerangkan kemana sasaran zakat itu harus dikeluarkan.
Maksud dari ayat ini dalam Tafsir Ahkam adalah zakat-zakat yang wajib,
berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa
ada pengkhususan.[15]
Para ulama
berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat
harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat
dua pendapat :
·
Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’I dan
sekelompok ulama’.
·
Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu
kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam
Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah,
Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Ibnu Jabir
berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.
Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan
mereka yang berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya.[16] Dalam ayat tersebut
Allah menjelaskan orang-orang yang berhak menerima zakat, diantaranya :
1.
لِلْفُقَرَاءِ 2. وَالْمَسَاكِين
Pada dasarnya kedua
keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih
memprihatinkan dari pada miskin, sehingga Allah SWT. menyebutkan fakir lebih
dahulu dari pada miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan
beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan miskin menurut para ulama.
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai siapa yang disebut dengan fakir
dan miskin itu :
Waqi, Ibnu Jarir, As’as
dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang
yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya,
sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk
mencukupi kehidupannya”.
Mujahid, “Fakir ialah
orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang
tidak punya dan ia meminta-minta.[17]
Dari pendapat diatas
dapat disimpulkan Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya
mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya. Sedangkan Miskin ialah seseorang
yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun
tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan
maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.[18]
3. الْعَامِلِين
‘Amil yaitu orang
bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-orang yang berhak
mengeluarkan zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula.[19] Mereka berhak
mendapatkan bagian zakat. Seorang Amil tidak boleh dari kerabat Rasulullah SAW,
karena mereka tidak berhak menerima zakat berdasarkan hadits shahih dari yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwa
ia dan Fadl bin Abbas memohon kepada Rasulullah SAW agar dijadikan sebagai amil
zakat, maka Rasulullah menjawab,“ Sesunguhnya zakat itu tidak dihalalkan
bagi Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran (harta)
manusia.”[20]
Para ulama
berselisih pendapat mengenai kadar yang diberikan kepada amil zakat, diantara
pendapat-pendapanya yaitu :
·
Dlohak ia
berpendapat bahwasanya amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat.
·
Yunus, Ibnu Wahab
dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa seorang amil mendapatkan sesuai dengan
kadar apa yang dikerjakannya.
Adapun pendapat yang
paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’
al-Bayan adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai
dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.
4.
الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
Yaitu orang-orang yang
perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya
kepada Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat
supaya mereka menegetahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar dan
shalih, dan supaya bertambah keimanannya.[21] Muallaf dibagi
menjadi tiga golongan : pertama, Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam,
kedua, Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya. dan Ketiga, Mereka
yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum
mukminin.[22]
5.
الرِّقَابِ
Yaitu budak-budak yang
sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari majikannya.
Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz,
Said bin Zubar an-Nakha’I, az-Zuhri dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan
riqab adalah “al-Mukatib” yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian
bebas.[23]
6.
َالْغَارِمِين
Yaitu orang yang terlilit hutang
tetapi bukan dalam bermaksiat kepada Allah, kemudian ia tidak bisa melunasi
hutangnya tersebut. Mujahid berkata, “Al-Gharimin ialah orang yang terbakar
rumahnya, kemudian ia berhutang untuk membangun kembali rumahnya.” Wajib
bagi seorang Imam memberinya harta atau zakat dari Baitul Mal.[24] Dalam hal (Gharim) ini terdapat dua
golongan :
1.
Berhutang untuk
kebaikan orang yang berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar utangnya.
2. Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.[25]
2. Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.[25]
Sebagaimana berdasarkan
hadits Nabi SAW dari ibnu Sa’id Al-Khudri ia berkata, “Pada zaman Rasulullah
SAW ada seseorang yang menderita banyak
kerugian karena buah-buahan yang baru saja dibelinya terkena hama, hingga
hutangnya menumpuk. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Bersedekahlah kepadanya,”
maka orang-orangpun bersadaqah kepadanya, akan tetapi tidak mencukupi untuk
melunasi hutangnya. Maka Rasulullah SAW berkata kepada para piutang tersebut,
“Ambillah apa yang kalian dapati, hanya itu saja bagaian yang kalian dapatkan.
(HR. Muslim).[26]
7.
فِي سَبِيلِ اللَّه
Para ulama’
berselisih pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat
tersebut, diantaranya pendapat Abu Yusuf, beliau berkata, “Yang dimaksud
adalah orang yang berjihad atau di dalam peperangan (mujahidin) yang
berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”
Akan tetapi
mayoritas ulama berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu. Adapun
yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat
kepada Allah dan orang-orang yang berada di jalan kebenaran.[27]
8.
وَاِبْنِ السَّبِيلِ
Ibnu Sabil Ialah musafir
(orang yang dalam perjalanan) di suatu negeri yang bekalnya tidak mencukupi
untuk dipakai pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia diberi bagian
zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula dengan orang yang
ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka ia diberi dari bagian
zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak diperbolehkan
mengambil lebih dari kebutuhannya.[28]
فَرِيضَةً مِن اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Maksudnya ialah
pembagian ini langsung dari Allah SWT yang diwajibkan kepada orang yang mempunyai
harta dari orang muslim. Tidak mungkin Allah SWT mewajibkan zakat pada kaum
muslimin melainkan ada maslahat di dalamnnya. Dialah Maha Bijaksana yang
mengatur segala sesuatu.[29]
Kandungan yang terdapat pada
surat at-Taubah ayat 60 di atas adalah : ketentuan orang-orang yang berhak
menerima Infaq, Shodaqah ataupun Zakat. Allah mempunyai sifat ‘Alim (maha
mengetahui) dan Hakim (Maha bijaksana).
Surat At-Taubah ayat
103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ
لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ {103}
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[30]
Tafsiran : Kata “shadaqah”
pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu
membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat
yaitu “that-hiir” (mensucikan/pensucian). Dapat pula diartikan sebagai
“shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta
shadaqah, bukan zakat. ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang
tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan
hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa
daripada zakat.[31]
Karena itu, Ibnu
Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna
umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah. Al-Sayyid Al-Sabiq juga
menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang
wajib, maupun shadaqah tathawwu’.[32]
Kandungan yang terdapat pada
surat at-Taubah ayat 103 di atas adalah : perintah dan memerintah untuk
mengeluarkan shadaqah ataupun zakat, salah satu metode alternatif membersihkan
diri dan perintah mendoa’akan sesama.
9. Hikmah Infaq
Infaq merupakan ibadah yang memiliki dimensi
ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti
dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah,
baik yang berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di
antara manusia, antara lain :
1.
Menolong, membantu dan membina kaum dhu’afa (yang lemah) dengan
materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Dengan kondisi tersebut
mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT.
2.
Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan
dengki dari diri orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah.
Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka
(orang kaya) kepadanya.
3.
Dapat mensucikan diri (pribadi) dari dosa, memurnikan
jiwa, menumbuhkan akhlaq mulia, peka terhadap rasa kemanusiaan dan mengikis
sifat bakhil (kikir) serta serakah.
4.
Dapat menunjang terwujudnya sistem
kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Ummatan Wahidan
(umat yang satu), Musawah (persamaan derajat), Ukhuwah Islamiyah
dan Takaful Ijti'ma’ (tanggungjawab bersama).
5.
Menjadi unsur penting dalam mewujudkan
keseimbangan dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan
tanggungjawab individu dalam masyarakat
6.
Infaq adalah ibadah yang mempunyai dimensi dan
fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT. dan juga merupakan
perwujudan solidaritas sosial.
7.
Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera
dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis
yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin.
III. KESIMPULAN
Infaq arti menurut bahasa “Membelanjakan”.
Pengertian Menurut Syara' : Mengeluarkan harta karena taat (patuh) kepada Allah
dan Menurut Kebiasaan: Pengeluaran derma setiap kali seseorang Muslim menerima
rezeki (kurnia) dari Allah, sejumlah yang dikehendaki dan direlakan oleh si penerima
rezeki. Sedangkan di dalam Al-Qur’an sendiri banyak ayat yang membahas tentang
infaq misalnya dalam beberapa surat dibawah ini yaitu : Al-Baqoroh Ayat 195,
Al-Baqoroh Ayat 215, Al-Baqoroh Ayat 219, Al-Baqoroh Ayat 254, Al-Baqoroh Ayat
261-262, Al-Baqoroh Ayat 265, Al-Baqoroh Ayat 267, Al-Baqoroh Ayat 274, Ali
Imron Ayat 134. Infaq memiliki banyak hikmah, baik yang berkaitan dengan Sang
Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia.
REFERENSI
1.
Al-Alusi, Sihabuddin Sayyid Mahmud, “ Ruhul Ma’ani”. Jilid 6. Maktabah Taufiqiyah, Kaero Mesir.
2. Ibnu Katsir. “Tafsir al Qur`an Al Azhim” Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989.
3. Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Syaikh, Ensiklopedi Islam Al-Kamil. Darus Sunnah. Cetakan kedua.
4. Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari, Abu Ja’far, “Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an” Tafsir Tobari, jilid 5.Cetakan kedua Dar As-Salam.
5. Al-Sabiq, A-Sayyid. “Fiqhus Sunnah” Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992
6. Al-Sa’di, Abdurrahman bin Nasir, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, Muasasah Risalah. Cetakan pertama.
7. Al-Suyuthi, Abdurrahman Jalaludin, “Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur”, jilid 4. Dar Al-Fikr. Cetakan tahun 1414 H/ 1993 M.
8. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
9. Ulwan, Abdullah Nasih. “Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab”. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
2. Ibnu Katsir. “Tafsir al Qur`an Al Azhim” Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989.
3. Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Syaikh, Ensiklopedi Islam Al-Kamil. Darus Sunnah. Cetakan kedua.
4. Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari, Abu Ja’far, “Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an” Tafsir Tobari, jilid 5.Cetakan kedua Dar As-Salam.
5. Al-Sabiq, A-Sayyid. “Fiqhus Sunnah” Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992
6. Al-Sa’di, Abdurrahman bin Nasir, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, Muasasah Risalah. Cetakan pertama.
7. Al-Suyuthi, Abdurrahman Jalaludin, “Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur”, jilid 4. Dar Al-Fikr. Cetakan tahun 1414 H/ 1993 M.
8. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
9. Ulwan, Abdullah Nasih. “Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab”. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
[1] Al-Jurjani. At-Ta’rifat, tt. 39
[5] Abdullah Nasih
Ulwan,. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa.
Jakarta. 1985
[8] Abdullah Nasih Ulwan,. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera
Antar Nusa. Jakarta. 1985
[9] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, cetakan ke 41, Sinar Baru
Algesindo Bandung. 2008
[10] Lihat surat at-Taubah ayat 60
[12] Hadits Arba'in An-Nawawi Dengan Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied
[13] Abdullah Nasih Ulwan,. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab.
Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
[15] Abdurrahman
bin Nasir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, (Muasasah
Risalah, hal 341).
[17] Abu Ja’far
Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil Qur’an
Tafsir Tobari , jilid 5 hal 4021. Dar As-Salam.
[18] Abdurrahman
Jalaludin As-Suyuthi, Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur, jilid 4
hal 222. Dar Al-Fikr.
[19] Abdurrahman
bin Nasir As-Sa’di, “Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan”,
hal 341 Muasasah Risalah.
[20] Al-Kamil
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam.
hal 776. Darus Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar