Kamis, 17 Mei 2012

INFAQ

I. PENDAHULUAN
Infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (Syarful maal ilal haajah)[1]. Dengan demikian Infaq mempunyai cakupan lebih luas dibanding zakat.  
Dengan  kata lain infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif, yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
 
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan, adalah termasuk infaq.  Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
  1. Pengertian Infaq dan Perbedaannya Dengan Zakat dan Shadaqah
  • ·         Makna Infaq
Pengertian infaq adalah lebih luas dan lebih umum dibanding dengan zakat. Tidak ditentukan jenisnya, jumlahnya dan waktunya suatu kekayaan atau harta harus didermakan. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menetukan jenis harta, berapa jumlah yang sebaiknya diserahkan.
  • ·         Makna Zakat
Secara Bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.". (QS : At-Taubah : 103).[2]
Sedangkan istilah zakat berarti derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah, dan waktu suatu kekayaan atau harta yang wajib diserahkan; dan pendayagunaannya pun ditentukan pula, yaitu dari umat Islam untuk umat Islam.
  • ·         Makna Shadaqah
Adapun Shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis kepada saudaranya, menyalurkan syahwatnya pada istri dsb. Dan shadaqoh adalah ungkapan kejujuran (shiddiq) iman seseorang.
Sedangkan dalam Fiqh Prioritas dijelaskan bahwa Zakat sifatnya wajib bagi setiap muslim yang hartanya telah memenuhi syarat tertentu, sedangkan infaq atau shadaqah adalah sunnah. Dengan demikian ibadah wajib harus lebih dahulu setelah sunnah.
Dalam pembahasan ini Pemakalah mencoba menuliskan dan menjelaskan beberapa dalil Qath’I dalam al-Qur’an sebagai alat bantu untuk memahami dan memepelajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan infaq, zakat dan shodaqoh.

II. PEMBAHASAN
Surat Al-Baqarah ayat 43 dan ayat 267.

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ {43}
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'-lah beserta orang-orang yang ruku'.[3]

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِئَاخِذِيهِ إِلآَّ أَن تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ {267}
 
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.[4]

Tafsiran : kedua ayat diatas sama-sama berbicara tentang zakat, walaupun pada ayat 267 menggunakan lafadz “Anfiqu” (infaq), karena ke dua ayat tersebut mempunyai hubungan yang erat, pada ayat 43 Allah menjelaskan perintah mengeluarkan zakat secara umum, sedangkan pada ayat 267 Allah menjelaskan apa-apa yang harus dizakati. Di dalam ayat 43 Allah mengumpulkan perkara shalat dan zakat, hal ini dikarenakan shalat mengandung keikhlasan kepada zat yang diibadahi, yaitu shalat yang ditunaikan secara bersama-sama (jama’ah). Sedangkan zakat mengandung kebaikan kepada hamba-hamba-Nya, yang diistilahkan dengan habl min Allah dan habl min al-nas.[5] Jika seseorang menunaikan atau menegakkan shalat berarti telah menjalankan hubungan baik dengan Allah ta'ala, dan tatkala menginfaqkan sebagian hartanya berarti telah berbuat baik sesama hamba-hamba Allah SWT .
Maka sebagai tanda kebinasaan seorang hamba yaitu tidak adanya dua perkara ini pada dirinya, yakni keikhlasan dan memberikan kebaikan kepada saudaranya.

2. Seputar Zakat
Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan pula,  sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60.
Zakat dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna :  Pertama, zakat bermakna Al-Thaharu, yang artinya membersihkan atau mensucikan. Sebagaimana Allah SWT berfirman yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 103. Kedua, zakat bermakna Al-Barakatu, yang artinya berkah. Ketiga, zakat bermakna Al-Numuw, yang artinya tumbuh dan berkembang. Keempat, zakat bermakna Al-Shalahu, yang artinya beres atau keberesan.[6]

3. Kedudukan Zakat Dalam Islam
Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam, sehingga keberadaannya dianggap sebagai “ma’lum min al-diin bi al-dlarurah”, yaitu diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Sehingga tidak aneh kalau Allah SWT mensejajarkan kata shalat dan kewajiban berzakat dalam berbagai bentuk kata tidak kurang dari 27 ayat.
Al-Quran menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam, ciri utama mu’min yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup dan ciri utama mu’min yang akan mendapatkan rahmat Allah SWT. Kesediaannya berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk membersihkan diri dan jiwa dari berbagai sifat buruk, sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan dan mengembangkan harta yang dimilikinya.
Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman keras terhadap orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Di akhirat kelak, harta benda yang disimpan dan ditumpuk tanpa dikeluarkan zakatnya, akan berubah menjadi azab bagi pemiliknya. Firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 35 : “Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.[7]
4. Sumber-sumber Zakat
Sumber zakat merupakan harta yang menjadi objek zakat. Sumber zakat dibagi menjadi dua bagian : pertama sumber zakat terdahulu, yaitu sumber zakat yang pernah ada pada zaman Rasulullah, seperti zakat emas dan perak, zakat perdagangan, zakat pertanian, zakat rikaz, dan lain sebagainya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam berbagai hadits. Adapun sumber zakat kontemporer adalah sumber zakat yang tidak ada pada zaman Rasulullah, tapi para ulama memasukannya kedalam sumber zakat yang harus dikeluarkan zakatnya dengan jalan analogi atau qiyas kepada sumber zakat yang pernah ada pada zaman Rasulullah.[8]
Dalam hal ini para ulama khususnya para ulama kontemporer memasukan sumber zakat kontemporer kedalam salah satu sumber zakat bukannya tanpa alasan dan bukannya tanpa didukung dengan dalil. Mereka telah berijtihad dalam hal ini dan merekapun mengemukakan dalil-dalil baik itu dalil aqli (dalil berdasarkan logika) ataupun dalil naqli (dalil berdasarkan nash).

5. Syarat Wajib Zakat
1.      Baik dan halal
2.      Berkembang dan berpotensi untuk berkembang
3.      Mencapai Nishab
4.      Mencapai Haul
5.      Lebih dari kebutuhan pokok
6.      Bebas dari hutang
7.      Milik penuh

6. Macam-Macam Zakat[9]
1. Zakat Fitrah/Fidyah
2. Harta (maal) yang wajib dizakati
a.    Binatang Ternak
b.    Emas Dan Perak
c.    Barang Perniagaan/Perdagangan
d.    Hasil Pertanian
e.    Kekayaan Laut
f.    Rikaz/ Barang temuan
3.    Zakat Profesi/Pendapatan
4.    Zakat Uang Simpanan
5.    Zakat Emas/Perak
6.    Zakat Investasi
7.    Zakat Hadiah dan Sejenisnya
8.    Zakat Perniagaan-Zakat Perdagangan
9.    Zakat Perusahaan

7. Mustahiq Zakat[10]
Maksudnya adalah orang-orang yang berhak menerima zakat.
8. Pihak Yang Terlarang Menerima Zakat
1.    Orang-orang kafir dan golongan atheis
2.    Bani Hasyim atau keluarga Nabi
3.    Orang tuanya & anak-anaknya. Alasannya ialah karena telah menjadi kewajiban bagi pembayar zakat untuk memberi nafkah kepada mereka (keluarganya). Kewajiban berzakat tidak menggugurkan kewajiban memberikan nafkah.
Kandungan yang terdapat pada surat at-Baqarah ayat 43 dan 267 di atas adalah : perintah shalat dan zakat, perintah shalat berjama’ah, barang-barang yang dizakati, dan Allah mempunyai sifat Maha Kaya Raya.
Surat Al-Baqarah Ayat 274
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ {274}
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.[11]

Tafsiran : dalam ayat ini Allah SWT. memberikan gambaran (kecil) hasil dan keistimewaan yang diberikannya kepada orang-orang yang  menafkahkan hartanya, akan tetapi ke dua kata “Sirran dan ‘Alaniyah” yang terdapat pada ayat tersebut banyak perbedaan pendapat, dikarenakan dalam hadis Nabi terdapat sebuah hadis yang berbunyi:
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إنما الأعمال بالنيات , " متفق عليه
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab RA, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya..”[12]
Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.
Ayat diatas menjelaskan secara jelas mengenai Infaq dan shodaqah (Bukan Zakat), dikarenakan pada ayat tersebut Allah tidak menjelaskan waktu dan tempat dikeluarkannya harta benda. Sedangkan pada pembahasan zakat terdapat waktu-waktu ketika zakat wajib di tunaikan.[13]
Kandungan yang terdapat pada surat at-Baqarah ayat 274 di atas adalah : balasan bagi orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah SWT.

Surat At-Taubah ayat 60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {60}
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[14]

Ayat ini turun karena Pada masa Rasulullah, orang-orang yang serakah dengan harta dunia, mereka tidak dapat menahan hawa nafsu ketika mereka melihat dana sedekah dan zakat. Mereka mengharapkan percikan harta tersebut dari Rasulullah. Tetapi ternyata mereka tidak diperhatikan oleh Rasulullah. Mereka mulai menggunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai seorang Nabi. Kemudian turunlah ayat Al-Qur’an yang menyingkap sifat-sifat mereka yang munafik dan serakah itu dengan menunjukan kepalsuan mereka yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Dan sekaligus ayat itu menerangkan kemana sasaran zakat itu harus dikeluarkan.
Maksud dari ayat ini dalam Tafsir Ahkam adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.[15]
Para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
·       Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’I dan sekelompok ulama’.
·       Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.
Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan mereka yang berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya.[16] Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan orang-orang yang berhak menerima zakat, diantaranya :
1.     لِلْفُقَرَاءِ       2.  وَالْمَسَاكِين
Pada dasarnya kedua keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih memprihatinkan dari pada miskin, sehingga Allah SWT. menyebutkan fakir lebih dahulu dari pada miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan miskin menurut para ulama. Para ulama’ berselisih pendapat mengenai siapa yang disebut dengan fakir dan miskin itu :
Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya”.
Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia meminta-minta.[17]
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya. Sedangkan Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.[18]
3.  الْعَامِلِين
‘Amil yaitu orang bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula.[19] Mereka berhak mendapatkan bagian zakat. Seorang Amil tidak boleh dari kerabat Rasulullah SAW, karena mereka tidak berhak menerima zakat berdasarkan hadits shahih dari yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwa ia dan Fadl bin Abbas memohon kepada Rasulullah SAW agar dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah menjawab,“ Sesunguhnya zakat itu tidak dihalalkan bagi Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran (harta) manusia.”[20]
Para ulama berselisih pendapat mengenai kadar yang diberikan kepada amil zakat, diantara pendapat-pendapanya yaitu :
·         Dlohak ia berpendapat bahwasanya amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat.
·         Yunus, Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa seorang amil mendapatkan sesuai dengan kadar apa yang dikerjakannya.
Adapun pendapat yang paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’ al-Bayan adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.
4.        الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
Yaitu orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya kepada Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat supaya mereka menegetahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar dan shalih, dan supaya bertambah keimanannya.[21] Muallaf dibagi menjadi tiga golongan : pertama, Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam, kedua, Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya. dan Ketiga, Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.[22]
5.        الرِّقَابِ
Yaitu budak-budak yang sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari majikannya. Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Zubar an-Nakha’I, az-Zuhri dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan riqab adalah “al-Mukatib” yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian bebas.[23]
6.       َالْغَارِمِين
Yaitu orang yang terlilit hutang tetapi bukan dalam bermaksiat kepada Allah, kemudian ia tidak bisa melunasi hutangnya tersebut. Mujahid berkata, “Al-Gharimin ialah orang yang terbakar rumahnya, kemudian ia berhutang untuk membangun kembali rumahnya.” Wajib bagi seorang Imam memberinya harta atau zakat dari Baitul Mal.[24]  Dalam hal (Gharim) ini terdapat dua golongan :
1.      Berhutang untuk kebaikan orang yang berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar utangnya.
2.      Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.[25] 

Sebagaimana berdasarkan hadits Nabi SAW dari ibnu Sa’id Al-Khudri ia berkata, “Pada zaman Rasulullah SAW  ada seseorang yang menderita banyak kerugian karena buah-buahan yang baru saja dibelinya terkena hama, hingga hutangnya menumpuk. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Bersedekahlah kepadanya,” maka orang-orangpun bersadaqah kepadanya, akan tetapi tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya. Maka Rasulullah SAW  berkata kepada para piutang tersebut, “Ambillah apa yang kalian dapati, hanya itu saja bagaian yang kalian dapatkan. (HR. Muslim).[26]
 
7.        فِي سَبِيلِ اللَّه
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat tersebut, diantaranya pendapat Abu Yusuf, beliau berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di  dalam peperangan (mujahidin) yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”
Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu. Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan orang-orang yang berada di jalan kebenaran.[27]
 
8.        وَاِبْنِ السَّبِيلِ
Ibnu Sabil Ialah musafir (orang yang dalam perjalanan) di suatu negeri yang bekalnya tidak mencukupi untuk dipakai pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia diberi bagian zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula dengan orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka ia diberi dari bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.[28]
 
فَرِيضَةً مِن اللَّهِ  وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Maksudnya ialah pembagian ini langsung dari Allah SWT  yang diwajibkan kepada orang yang mempunyai harta dari orang muslim. Tidak mungkin Allah SWT mewajibkan zakat pada kaum muslimin melainkan ada maslahat di dalamnnya. Dialah Maha Bijaksana yang mengatur segala sesuatu.[29]
Kandungan yang terdapat pada surat at-Taubah ayat 60 di atas adalah : ketentuan orang-orang yang berhak menerima Infaq, Shodaqah ataupun Zakat. Allah mempunyai sifat ‘Alim (maha mengetahui) dan Hakim (Maha bijaksana).

Surat At-Taubah ayat 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ {103}
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[30]

Tafsiran : Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan/pensucian). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.[31]
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah. Al-Sayyid Al-Sabiq juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’.[32]
Kandungan yang terdapat pada surat at-Taubah ayat 103 di atas adalah : perintah dan memerintah untuk mengeluarkan shadaqah ataupun zakat, salah satu metode alternatif membersihkan diri dan perintah mendoa’akan sesama.
9. Hikmah Infaq
Infaq merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yang berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain :
1.    Menolong, membantu  dan membina kaum dhu’afa (yang lemah) dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT.
2.    Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.
3.    Dapat mensucikan diri (pribadi) dari dosa, memurnikan jiwa, menumbuhkan akhlaq mulia, peka terhadap rasa kemanusiaan dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah.
4.    Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Ummatan Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat), Ukhuwah Islamiyah dan Takaful Ijti'ma’ (tanggungjawab bersama).
5.    Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat
6.    Infaq adalah ibadah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT. dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial.
7.    Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin.
III. KESIMPULAN
Infaq arti menurut bahasa “Membelanjakan”. Pengertian Menurut Syara' : Mengeluarkan harta karena taat (patuh) kepada Allah dan Menurut Kebiasaan: Pengeluaran derma setiap kali seseorang Muslim menerima rezeki (kurnia) dari Allah, sejumlah yang dikehendaki dan direlakan oleh si penerima rezeki. Sedangkan di dalam Al-Qur’an sendiri banyak ayat yang membahas tentang infaq misalnya dalam beberapa surat dibawah ini yaitu : Al-Baqoroh Ayat 195, Al-Baqoroh Ayat 215, Al-Baqoroh Ayat 219, Al-Baqoroh Ayat 254, Al-Baqoroh Ayat 261-262, Al-Baqoroh Ayat 265, Al-Baqoroh Ayat 267, Al-Baqoroh Ayat 274, Ali Imron Ayat 134. Infaq memiliki banyak hikmah, baik yang berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia.

REFERENSI
1.    Al-Alusi, Sihabuddin Sayyid Mahmud, “ Ruhul Ma’ani”.  Jilid 6. Maktabah Taufiqiyah, Kaero Mesir.
2.    Ibnu Katsir. “Tafsir al Qur`an Al Azhim” Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989.  
3.    Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Syaikh, Ensiklopedi Islam Al-Kamil. Darus Sunnah. Cetakan kedua.
4.    Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari, Abu Ja’far, “Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an” Tafsir Tobari, jilid 5.Cetakan kedua  Dar As-Salam.
5.    Al-Sabiq, A-Sayyid. “Fiqhus Sunnah” Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992
6.    Al-Sa’di, Abdurrahman bin Nasir, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, Muasasah Risalah. Cetakan pertama.
7.    Al-Suyuthi, Abdurrahman Jalaludin, “Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur”, jilid 4. Dar Al-Fikr. Cetakan tahun 1414 H/ 1993 M.
8.    Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
9.    Ulwan, Abdullah Nasih. “Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab”. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985


[1] Al-Jurjani. At-Ta’rifat, tt. 39
[2] Al-Quran Al-‘Adhzim dan tarjamahnya, Depag. Jakarta 2008
[3] Surat Al-Baqarah ayat 43, Al-Quran Al-‘Adhzim dan tarjamahnya, Depag. Jakarta 2008
[4] Surat Al-Baqarah ayat 267, Al-Quran Al-‘Adhzim dan tarjamahnya, Depag. Jakarta 2008
[5] Abdullah Nasih Ulwan,. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
[6] Lihat Fiqh al-Islam.
[7] Surat Al-Taubah ayat 35, Al-Quran Al-‘Adhzim dan tarjamahnya, Depag. Jakarta 2008
[8]  Abdullah Nasih Ulwan,. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
[9] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, cetakan ke 41, Sinar Baru Algesindo Bandung. 2008
[10] Lihat surat at-Taubah ayat 60
[11] Surat Al-Baqarah ayat 274,  Al-Quran Al-‘Adhzim dan tarjamahnya, Depag. Jakarta 2008
[12] Hadits Arba'in An-Nawawi Dengan Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied
[13] Abdullah Nasih Ulwan,. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
[14] Surat At-Taubah ayat 60, Al-Quran Al-‘Adhzim dan tarjamahnya, Depag. Jakarta 2008
[15] Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, (Muasasah Risalah,  hal 341).
[16] Terjemahan Tafsir Ibnu Katrsir jilid 4 hal 150-151. Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
[17] Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At-Tobari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil Qur’an Tafsir Tobari , jilid 5 hal 4021. Dar As-Salam.
[18] Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi, Ad-Dauru Al-Mansur fi Tafsir Al-Mansur, jilid 4 hal 222. Dar Al-Fikr.
[19] Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, “Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan”, hal 341 Muasasah Risalah.
[20] Al-Kamil Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam. hal 776.  Darus Sunnah.
[21] Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan, hal 341.
[22] Ruhul Ma’ani, Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6 hal 169. Maktabah Taufiqiyah.
[23] Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 152.
[24] Tafsir At-Tobari jilid 5 hal 4029.
[25] Ensiklopedi Islam Al-Kamil hal 776.
[26] Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 153-254.
[27] Ruhul Ma’ani,  Sihabuddin Sayyid Mahmud Al-Alusi jilid 6 hal 171. Maktabah Taufiqiyah.
[28] Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir,  jilid 4 hal 154.
[29] Tafsir At-Tobari jilid 5 hal 4031.
[30] Surat At-Taubah ayat 103, Al-Quran Al-‘Adhzim dan tarjamahnya, Depag. Jakarta 2008
[31] Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989  
[32] As Sabiq, As Sayyid. Fiqhus Sunnah Juz I . Darul Fikr. Beirut. 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar